Rabu, 19 Agustus 2009

G pacaran g laku??

G pacaran g laku?? Pacaran itu harus… Pacaran itu menyenagkan… G pacaran g modern… dsb dll Apa memang seperti itu??????????? Pacaran menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang…. Anadai mereka tahu…. Padahal Allah pun sudah mengatakan bahwa “Janganlah engkau mendekati Zina” sudah sangat jelas sekali mendekai aja g boleh.. tapi kenapa ya masyarakat justru mengamini aktivitas maksiat seperti itu dan mencibir para penjaga kesucian diri dari dosa .. dan bahkan sangat ironi sekali bahwa MBA pun dianggap suatu kesalahan kecil..yang harus di maklumi … Sebenarnya salah siapa? di sisi lain dukungan masyarakat terhadap para pelaku pacaran sangat besar , mereka sangat apresiatif banget terhadap mereka padahal .... pacara berarti lemahnya iman pacaran berarti pecundang… malunya kalo ku punya pacar... dosa besar... So pacaran dan g zaman lagi.... kalo nikah g berani ya jaga diri ..... sampai berani menikah Ok

Selasa, 07 Juli 2009

Utang Indonesia

Indonesia adalah Negara yang kaya kaya dengan sumber daya alam, kaya dengan keindahan darat laut maupun udara , kaya dengan jumlah penduduk tapi INDONESIA juga kaya UTANG. Berdasarkan data dari Departemen Keuangan posisi utang Indonesia adalah tahun 2005 utang pemerintah 1268 T, tahun 2009 1667 T, bunga tahun 2009 100 T Sungguh cukup menakjubkan sekali kondisi bangsa Ini. jika kondisi kekayaan alam bangsa ini bisa dikelola dengan maksimal dan benar pasti negri ini akan sejahtera tapi sayang harapan itu belum bisa terwujud. Kekayaan bangsa ini yang melimpah ruah sudah sebagian besar di jadikan tumbal keganasan para penguasa yang Dzolim. Mulai dari tembaga pura tepatnya”emaspura”, blok natuna, blok cepu, Belitung kampungnya para laskar pelangi dan masih banyak lagi ……sudah digadaikan semua. Kita sebagai orang yang lahir setelah para orang2 serakah dan gila uang hanya mendapat sisa-sisa nya saja………. (sungguh kasian kita) apalagi bayi yang baru lahir sudah harus menaggung hutang sekitar 7.7 juta sungguh negeri yang sangat ironis dan kasian…. Terus gimana kalo sudah begitu????????? Apa yang bisa kita lakukan ???? apa diam saja seribu bahasa? Pasrah? “ya sudah itukan sudah nasib” atau “mau apalagi yang penting bisa makan meskipun hanya sebatas dengan sambal korek kan sudah kenyang” atau menunggu keajaiban datang menunggu Ratu adil datang? Tidak!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Kita harus bergerak, kita harus berusaha untuk keluar dari lingkaran setan ini………. Kita harus bergerak bergerak untuk menyelamatkan negeri ini……… Bergerak bergerak karena Allah bersabda “….Allah tidak akan merubah suatu kaum jika kaum tersebut tidak mengubah dirinya sendiri…”(QS. Arraddu:11) sudah jelas sekali janji Allah tersebut jika kita ingin bangkit hanya ada satu jalan yaitu kebangkitan dengan ideology atau bahasa kerennya dengan MABDa. Dah hanya satu mabda yang bisa membangkitkan yaitu “ ISLAM”

EKONOMI ISLAM VS EKONOMI NEO-LIBERAL

EKONOMI ISLAM VS EKONOMI NEO-LIBERAL Oleh M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi Banyak yang tahu dan paham bahwa baik neo-liberalisme maupun liberalisme adalah kebijakan ekonomi dunia yang berbahaya yang harus dilawan dan dicegah. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu sistem ekonomi seperti apa yang bisa membendung kebijakan neo-liberalisme ini. Berharap pada sistem ekonomi Komunisme tentunya tidak bisa. Alih-alih sebagai pengganti, sistem ini sendiri sudah nyata-nyata ambruk. Pilihannya tinggal satu: Sistem Ekonomi Islam. Bagaimana sistem ini mampu menjadi lawan seimbang bagi Kapitalisme global? Kebijakan yang Bertolak Belakang Secara ideologis Islam dan Kapitalisme bertolak belakang. Islam menjadikan akidah Islam berikut syariatnya sebagai landasan sistem ekonominya. Sebaliknya, dasar sistem ekonomi Kapitalisme adalah sekularisme, yang menghalangi agama terlibat dalam ekonomi. Akibatnya, kebijakan ekonomi kapitalis lebih didasarkan pada hawa nafsu manusia yang rakus. Lalu bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap kebijakan ekonomi neo-liberal ini? 1. Persoalan ekonomi: distribusi atau produksi? Kalangan ekonomi kapitalis (liberal) percaya bahwa persoalan ekonomi terletak pada masalah produksi. Maksudnya, persoalan ekonomi terletak pada tidak terbatasnya keinginan manusia, sementara sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhinya terbatas. Untuk menghilangkan gap ini harus dengan peningkatan produksi. Karena itu, hitungan angka rata-rata statistik seperti GDP (Gros domestik product) dan GNP (gross national product) adalah persoalan penting; tanpa melihat orang-perorang, apakah mereka sejahtera atau tidak. Sebaliknya, dalam Islam, persoalan ekonomi terletak pada masalah distribusi kekayaan. Sebenarnya terdapat sumber-sumber yang cukup untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok 6 miliar penduduk dunia. Masalahnya adalah pada pendistribusian. Tidak sahihnya pendistribusian inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan yang luar biasa antara negara maju dan Dunia Ketiga (yang ironisnya mayoritas negeri-negeri Islam). Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar dolar AS menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang terkaya di dunia lebih besar dari GNP 48 negara terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa; 1/5 orang termiskin dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United Nations Human Development Report, 1999). Di sinilah peran negara, yang dalam pandangan ekonomi Islam, wajib melakukan pendistribusian kekayaan ini dengan mekanisme tertentu yang sesuai dengan syariat Islam sehingga setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya. 2. Peran negara: perlu atau tidak? Konsekuensi dari keyakinan tentang persoalan ekonomi di atas, penganut ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Jika harga murah berarti persediaan memadai. Sebaliknya, jika harga mahal berarti produknya mulai langka. Dalam keadaan harga tinggi, orang akan menanamkan modal kesana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang diproduksi. Itulah alasannya, mengapa negara tidak perlu campur tangan; serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk berkerja. Sebaliknya, dalam Islam negara memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan rakyatnya; termasuk pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan. Ini merupakan policy mendasar ekonomi Islam. Sebab, bisa jadi seorang individu tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dengan berbagai alasan seperti cacat tubuhnya atau lemah akalnya, sementara keluarganya tidak cukup untuk membantu. Di samping itu negara (Daulah Khilafah Islam) harus berperan untuk menjamin pendistribusian kekayaan berdasarkan syariah seperti: memungut dan membagikan zakat; melarang penimbunan kekayaan, investasi pada bank ribawi untuk mendapatkan keuntungan dari bunga, penimbunan emas dan perak, penimbunan barang yang mengancam kewajaran harga pasar, pemilikan harta milik umum oleh individu/swasta, dsb. Negara juga bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum (milkiyah 'amah) untuk kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja dan kemampuan yang tinggi dari para pekerja (profesionalitas). (3) Subsidi bagi rakyat: penting atau tidak? Menurut ekonom liberal, subsidi adalah racun bagi rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut. Alasannya, selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan negara dalam perekonomian, subsidi juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula alasan mengapa dalam kebijakan ekonomi neo-liberal harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara agar tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas dalam pasar bebas. Sebaliknya, dalam Islam, karena prinsip politik ekonominya adalah menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, adalah wajar bahkan wajib negara memberikan bantuan secara gratis kalau memang ada rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adalah tanggung jawab negara juga menyediakan fasilitas kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan secara murah. Apalagi biaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut memang milik rakyat (milkiyah 'âmah) dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Terbukti pula bahwa pencabutan subsidi dalam kebijakan ekonomi neo-liberal telah mengsengsarakan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat pun terbaikan. Beban mereka semakin berat akibat negara lepas tangan dalam masalah pendidikan, pendidikan, dan kesehatan yang mahal akibat diserahkan ke mekanisme pasar (privatisasi). (4) Pasar bebas atau tidak? Jelas, dalam pandangan neo-liberal harus ada liberalisasi perdagangan dalam bentuk pasar bebas. Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah penghapusan hambatan non-tarif (proteksi) dan penurunan tarif perdagangan dalam transaksi perdagangan internasional. Tujuannya, masih menurut ekenom neo-liberal, untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan antarnegara di seluruh dunia. Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman dan Obstfeld, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002). Persoalannya, persaingan ini tidak seimbang. Dengan perbedaan struktur, perkembangan ekonomi, dan ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara terbelakang tidak akan mampu bersaing melawan negara maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara maju dalam perdagangan dunia yang membuat mereka semakin untung; negara terkebelakang hanya jadi obyek dalam pasar bebas ini. Celakanya lagi, sektor-sektor industri yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat seperti pertanian dan sektor informal disikat habis akibat ketidakseimbangan persaingan ini. Tanah pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik pemilik modal besar. Apalagi kalau perusahan-perusahan transnasional ini masuk pada industri yang sebenarnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah âamah) seperti minyak, air, atau tambang emas; pastilah negara terbelakang akan kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal dan teknologi, kekayaan alam negara-negara terbelakang itu disedot habis oleh negara maju. Perdagangan bebas dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara terbelakang pun semakin termiskinkan. Mereka menjadi kuli di tanah air mereka sendiri. Dalam Islam sendiri, dibedakan antara perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Perdagangan dalam negeri berkaitan dengan aktivitas antar rakyat (warga) negara Daulah Khilafah sendiri. Aktivitas ini tidak butuh campur tangan negara. Hanya saja, aktivitas ini tetap membutuhkan pengarahan secara umum agar tiap individu yang melakukan perdagangan terikat pada hukum syariat dalam jual-belinya; termasuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar. (Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, hlm. 325). Berkaitan dengan perdagangan dalam negeri ini negara tidak boleh mematok harga tertentu untuk barang, apapun alasannya. Harga barang diserahkan kepada pasar. Adapun perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual-beli yang berlangsung antara bangsa dan umat. Oleh karena itu, negara akan campur tangan. Hubungan-hubungan antarbangsa seperti ini harus tunduk pada kekuasaan negara; negaralah yang mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung. Islam dalam konteks ini menolak perdagangan bebas. Negara Khilafah Islam akan melarang dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan komiditi lain sesuai dengan pertimbangan syariat. Negara Khilafah tentu saja akan melarang warganya yang menjual senjata kepada pasukan musuh, misalnya. Negara juga tidak membolehkan pihak asing untuk melakukan investasi untuk menguasai sektor-sektor yang berhubungan dengan pemilikan umum, seperti minyak dan tambang emas. Perusahan-perusahan multinasional tidak akan dibolehkan memanfaatkan apalagi memiliki sumber-sumber alam negara Khilafah. Negara juga akan campur tangan dalam pelaku bisnis kafir harbi atau mu'âhad. Sebab, prinsip yang diadopsi oleh negara Khilafah dalam aktivitas perdagangan ini adalah prinsip asal-muasal (kewarganegaraan) pedagangnya, bukan asal-muasal komoditasnya. Dalam hal ini, Negara Khilafah tidak akan mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara yang memerangi kaum Muslim secara langsung (muhâriban fi'lan) seperti AS, Inggris, dan Israel. Intervensi negara tersebut bukan sebatas kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk tujuan-tujuan politik sekaligus mengemban dakwah. Negara Khilafah pada prinsipnya akan menolak setiap perdagangan yang justru memberikan jalan bagi pihak luar untuk menguasai dan mendominasi negara seperti yang terjadi sekarang ini. Setiap warga negara berkewajiban mengamankan negara sehingga tidak bergantung pada produk-produk asing yang mengancam kemandirian negara. Warganegara didorong untuk memperkuat dan memanfaatkan produk lokal serta mendorong ekspor. Dalam hal ini, negara boleh memproteksi pasar dalam negeri dari masuknya barang-barang yang justru mengancam industri dalam negeri seperti dalam bidang pertanian. (5) Liberalisasi keuangan: diterima atau ditolak? Pada dasarnya liberalisasi keuangan dalam kebijakan ekonomi neo-liberal ditujukan untuk mendorong pengintegrasian sebuah negara secara penuh ke dalam sistem perekonomian dan keuangan internasional. Dengan demikian, akan terbentuk jalan bebas hambatan bagi berlangsungnya transaksi keuangan dan perdagangan antar berbagai negara di seluruh dunia (Singh, Memahami Globalisasi Keuangan, 1998). Persoalannya, akibat liberalisasi ini negara-negara miskin sangat rentan terhadap berbagai gejolak dan spekulasi moneter yang dilakukan spekulan internasional dari negara kaya tertentu. Banyak pihak yang percaya, krisis moneter di Asia pada 1997, yang kemudian juga menguncang Indonesia, merupakan permainan para spekulan internasional ini. Apalagi liberalisasi keuangan berarti menjadikan dolar sebagai mata uang yang dominan di dunia internasional. AS memegang kendali nilai mata uang dunia dan dengan mudah mempengaruhi perekonomian negara lain. Dolar kemudian menjadi alat penjajahan AS di dunia internasional. Dalam hal ini, Negara Khilafah akan menerapkan sistem mata uang dengan standar emas dan perak, bukan dolar. Dengan demikian, sistem moneter internasional akan terjadi secara adil. Siapapun yang ingin mencetak uang kertas harus mengupayakan persediaan emas dan perak yang setara. Berbeda dengan saat ini, AS hanya tinggal mencetak uang kertas, sementara negara lain harus melakukan jual-beli untuk mendapat dolar. Percetakan uang kertas dalam jumlah yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan kekayaan real juga telah menjadi akar penyebab inflasi. (6) Ihwal privatisasi BUMN. Kebijakan privatisasi BUMN sesungguhnya menjadi agenda utama kebijakan ekonomi neo-liberal. Tentu saja hal ini menyebabkan dieksploitasinya kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat oleh perusahaan swasta, terutama transnasional. Kekayaan yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis justru jatuh ke individu-individu. Wajarlah jika Indonesia yang kekayaan alamnya luar biasa, rakyatnya harus hidup miskin. Dalam Islam kepemilikan dibagi tiga: individu, umum, dan negara. Yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah: (1) segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan kehidupan masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber energi (gas, listrik, minyak bumi, tambang batu bara, dll); (2) berbagai komoditas yang secara alamiah tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti lautan, sungai, taman umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun alat transportasi lainnya; (3) barang tambang yang depositnya tidak terbatas seperti sumberdaya mineral (garam, besi, emas, perak, timah dll). Semua yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta (seperti perusahan multi nasional) dan bukan pula milik negara. Negara hanya mengelolanya saja; hasil pendapatannya diserahkan ke Baitul Mal yang digunakan untuk kepentingan rakyat. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa banyaknya sumber kas Baitul Mal. Agenda ke Depan Tentu saja, kebijakan ekonomi Islam di atas harus dijalankan secara komprehensif. Karena itu, agenda umat Islam ke depan adalah membangun sistem politik untuk itu, yaitu Daulah Khilafah Islam. Negara global inilah yang akan menggeser dan menundukkan arogansi dan kerakusan negara-negara kapitalis lewat kebajikan ekonomi neo-liberalnya yang merugikan umat manusia saat ini. Wallâhu a'lam. []

PRIVATISASI: MENGKHIANATI RAKYAT

Privatisasi Mengkhianati Rakyat Apapun yang dikatakan Pemerintah, bahwa privatisasi tidak akan membebani masyarakat tetapi menyejahterakan masyarakat adalah hal yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak, dengan privatisasi, kekayaan milik umum/rakyat berpindah menjadi milik swasta. Dengan privatisasi pula, Pemerintah melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh pihak swasta, termasuk swasta asing, baik secara langsung maupun melalui proses privatisasi. Sebagai contoh, saat ini perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia) dan Mobil Oil sudah menjarah seluruh kekayaan minyak Indonesia. Selebihnya, Pemerintah, yang diwakili Pertamina, hanya kebagian porsi yang sedikit (sekitar 14%). Kemudian belakangan, muncul pengusaha swasta nasional seperti Medco, Humpuss, Astra Internasional, dll. Jika demikian faktanya jelas, ini mengkhianati sekaligus menyakiti rakyat. Sebab, sumberdaya alam yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah, yang hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagai bentuk pelayanan sosial kepada mereka, berubah menjadi bernilai komersial; rakyat—yang sejatinya adalah pemilik sumberdaya itu (seperti BBM, barang tambang, air, hasil hutan, dll)—harus membeli semua itu dengan harga mahal. Semua ini, antara lain, akibat dari adanya privatisasi, di samping kebijakan ekonomi lainnya yang salah. Semangat pelayanan tentu sangat berbeda sekali dengan semangat bisnis. Pelayanan adalah memberikan yang terbaik buat masyarakat seperti harga murah serta ketersediaan barang yang cukup. Sebaliknya, bisnis adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan masa bodoh dengan yang lain. Sebetulnya, tanpa harus melakukan privatisasi, banyak cara yang dapat dijalankan Pemerintah untuk menutup defisit APBN-nya. Di antaranya: (1) Menyita harta para koruptor hitam yang ‘mengemplang’ Pemerintah. Sayang, hingga saat ini, kebanyakan koruptor kakap itu tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun ada yang menjalani proses hukum, banyak di antara mereka yang akhirnya divonis bebas. Dalam tiga kasus yang sudah diputuskan MA, mereka rata-rata hanya diganjar 1,5 tahun; seolah-olah proses hukum ini hanya untuk menyenangkan masyarakat. Padahal, kasus tersebut telah merugikan negara sebesar Rp. 18,17 triliun (Republika, 15/06/2005). (2) Mengelola BUMN secara profesional. Fakta di lapangan tidak bisa dipungkiri, bahwa hampir semua BUMN adalah 'sapi perahan' bagi rezim penguasa yang ada untuk kepentingan diri dan koleganya. Gontok-gontokan memperebutkan kursi di BUMN-BUMN oleh kelompok-kelompok penguasa yang ada adalah sekelumit fakta bagaimana BUMN-BUMN yang ada mempunyai nilai yang strategis bagi mereka. Itulah, antara lain, yang mengakibatkan ketidakefisienan BUMN-BUMN yang ada. Privatisasi: Agenda Asing Privatisasi yang saat ini gencar dilakukan Pemerintah tidak bisa dilepaskan dari agenda asing untuk ‘menjajah’ Indonesia. Sudah maklum dalam ingatan kita, ‘wabah’ privatisasi mulai merajalela tatkala Indonesia dilanda badai krisis moneter yang mengharu-biru pada masa-masa akhir rezim Orba. Pemerintah saat itu mengambil kebijakan yang salah, yakni mengemis kepada IMF dan mengikuti resep-resepnya. Beberapa resep IMF terbukti bukan ‘menyembuhkan’, tetapi justru sebaliknya: ‘mematikan’. Di antaranya: (1) dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah bagi masyarakat secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar. Kebijakan ini terbukti telah menyebabkan naiknya harga BBM, yang kemudian mengakibatkan naiknya komoditas yang lain; (2) nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar. Inilah yang menyebabkan rupiah saat ini terus terpuruk, hingga menembus angka Rp. 10,000 per dolar; (3) privatisasi BUMN, yang dilakukan dengan menjual saham BUMN kepada pihak swasta nasional maupun asing, sehingga kepemilikannya pun jatuh ke tangan individu (private); (4) peran-serta Pemerintah Indonesai dalam kancah Perdagangan Bebas (WTO) dan Perjanjian GATT yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam ‘kubangan’ liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global. Dari agenda di atas jelas, bahwa privatisasi merupakan agenda asing yang dipaksakan oleh para penguasa yang pro-Barat kepada masyarakat. Tujuannya adalah menjajah negeri ini. Lihatlah, bagaimana Bolivia. Negeri penghasil gas dan kaya akan mineral, seperti timah dan perak, bahkan lebih kaya ketimbang Belanda itu justru hancur. Pada tahun 1980-an, Bolivia mengalami resesi ekonomi, justru setelah melakukan privatisasi perusahaan tambang. 25 ribu pekerja, kala itu, terpaksa harus kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, privatisasi yang konon digenjot untuk menutupi anggaran, justru sebaliknya, membuat anggaran negara terus-menerus mengalami defisit, antara 300-400 juta dolar AS per tahun. Bayangkan, 60% penduduknya miskin, 30% di antaranya hanya berpenghasilan 1 dolar AS. Dengan kenaikan harga, defisit anggaran, praktis pembangunan tidak berjalan. Akibatnya, lapangan pekerjaan sempit, angka pengangguran meningkat. Inilah yang mengakibatkan kemarahan raktar, yang berujung pada jatuhnya presiden Bolivia. Bayangkan, sudah 200 kali presiden Bolivia diturunkan di tengah jalan (Republika, 15/06/2005). Privatisasi: Haram! Dalam pandangan Islam, air, hutan, barang tambang, dan sumberdaya alam lain yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum. Kepemilikan umum ini harus dikelola hanya oleh negara, yang hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Prinsip ini di antaranya dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, berdasarkan hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hanbal. Dalam hadis tersebut, Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah saw. kemudian bersabda, "Tariklah kembali tambang tersebut darinya." (HR at-Tirmidzi). Dalam hadis di atas, air mengalir (mâ’ al-‘iddu), disebut demikian karena jumlahnya yang sangat banyak; seolah-olah seperti air yang mengalir terus-menerus. Dari riwayat tersebut dapat dipahami, bahwa semula Rasullah saw. memberi Abyadh tambang garam karena dikira sedikit jumlahnya. Ini menunjukkan bahwa penguasa boleh memberikan tambang garam atau tambang-tambang lainnya dalam jumlah sedikit kepada individu. Akan tetapi, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar (digambarkan bagaikan air yang terus mengalir), maka Rasul saw. segera menarik kembali pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum; semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan garam, melainkan 'tambang'-nya. Artinya, larangan untuk menguasai tambang dalam jumlah yang banyak tidak hanya berlaku pada tambang garam, tetapi berlaku pada semua tambang yang memang menguasai hajat hidup orang banyak. An-Nabhani, mengutip ungkapan Abu Ubaid, mengatakan: Pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hanbal atas tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya semata-mata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air yang mengalir—sementara air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor—maka beliau mencabutnya kembali. Sebab, sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Karena itu, beliau melarang seseorang untuk memilikinya, karena dapat menyebabkan yang lain tidak dapat memilikinya. Penarikan kembali pemberian Rasul saw. kepada Abyadh adalah 'illat/sabab at-tasyrî‘ (sebab legal) bagi larangan/keharaman atas individu/swasta manapun untuk memiliki dan menguasai sesuatu yang menjadi milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak atau menguasai hajat hidup orang banyak. Walhasil, privatisasi atas sektor-sektor publik, dengan alasan apapun, adalah bertentangan dengan hukum Islam, dan jelas hukumnya haram. (sumber:Al-islam edisi 260)

Mitos-mitos palsu Demokrasi prasarat pembangunan

Banyak orang menganggap bahwa demokrasi adalah sebagai prasarat kemajuan, baik dalam teknologi, ekonomi, keilmuan. Mancur olsen dalam bukunya Power and prosperity menyebutkan bahwa demokrasi umumnya tumbuh dan berkembang secara relative terhadap sistem pemerintahan yang berjalan disuatu Negara. Dia menganggap bahwa Sistem memberikan perlindungan hak-hak warga Negara dan hak-hak kepemilikan yang mendorong lahirnya kesejahteraan yang lebih luas, karena pemimpin dapat digulingkan dalam kotak pemilu. Evan Rodrik pakar politik dari Universita Illinois menyatakan bahwa “demokrasi merupakan institusi meta yang membantu membangun institusi-Institusi lain, dan demokrasi adalah satu-satunya syarat institusional untuk kesuksesan”meskipun tidak ada definisi secara universal , setidaknya ada dua definisi tentang demokrasi. Prinsip yang pertama adalah bahwa setiap masyarakat memiliki akses yang sama atas pemerintahan, kedua bahwa setiap anggota masyarakat berhak memperoleh kebebasan dan kemerdekaan individu yang diakui secara universal. Jika dilihat sekilas bangsa-bangsa yang menggaungkan demokrasi dan melakukan intervensi terhadap dunia dengan mengatas namakan demokrasi, jelas hal terebut sangatlah tidak terbukti. Faktanya justru mereka menjadi maju berkat kebijakan non demokrasi. Bahkan karena tidak demokrasinya membuat mereka menjadi maju. Ketika pemungutan suara pertama dikenalkan dibarat, hak tesebut berlaku terbatas bagi minoritas pemilik lahan dan property dengna jumlah suara yan tak proporsional dibandingkan dengan jumlah property, tingkat pendidikan, dan usia. Di Amerika orang kulit hitam baru diberi suara pada tahun 1965. Pada 1830 prancis mmberikan suara hanya kepada mereka yang berusia 30 tahun keatas dan yang telah membayar sejmlah 300 francs. Negara-negara berkembang saat ini sudah memberikan hak suara yang lebih baik dibandingkan dengan Negara-negara maju pada tahap yang sama.tapi Negara berkembang g maju2. So klaim bahwa demokrasi mengantarkan kemajuan adalah mitos. China, Rusia dan jerman telah membuktikan bahwa tanpa demokrasi mereka menjadi maju hal tersebut menunjukan secara gamblang bahwa banyak hal yang dapat dilakukan tanpa demokrasi. (Dicuplik dari buku Mitos2 palsu ciptaan Barat By Adnan Khan)

Senin, 06 Juli 2009

ciri-ciri neoliberalisme

ciri2 Neoliberalisme 1.Kekayaan terpusat pada sekelompok, orang maupun sindikat bisnis raksasa 2. Mati dan lumpuhnya fungsi negara dalam layanan publik 3. Privatisasi atas semua sektor layanan publik (energi,air,pendidikan dan kesehatan) 4.Semua kekuatan kritis menghamba pada rezim pasar (media, intelektual dan gerakan sosial)