Selasa, 07 Juli 2009
PRIVATISASI: MENGKHIANATI RAKYAT
Privatisasi Mengkhianati Rakyat
Apapun yang dikatakan Pemerintah, bahwa privatisasi tidak akan membebani masyarakat tetapi menyejahterakan masyarakat adalah hal yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak, dengan privatisasi, kekayaan milik umum/rakyat berpindah menjadi milik swasta. Dengan privatisasi pula, Pemerintah melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh pihak swasta, termasuk swasta asing, baik secara langsung maupun melalui proses privatisasi. Sebagai contoh, saat ini perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia) dan Mobil Oil sudah menjarah seluruh kekayaan minyak Indonesia. Selebihnya, Pemerintah, yang diwakili Pertamina, hanya kebagian porsi yang sedikit (sekitar 14%). Kemudian belakangan, muncul pengusaha swasta nasional seperti Medco, Humpuss, Astra Internasional, dll.
Jika demikian faktanya jelas, ini mengkhianati sekaligus menyakiti rakyat. Sebab, sumberdaya alam yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah, yang hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagai bentuk pelayanan sosial kepada mereka, berubah menjadi bernilai komersial; rakyat—yang sejatinya adalah pemilik sumberdaya itu (seperti BBM, barang tambang, air, hasil hutan, dll)—harus membeli semua itu dengan harga mahal. Semua ini, antara lain, akibat dari adanya privatisasi, di samping kebijakan ekonomi lainnya yang salah.
Semangat pelayanan tentu sangat berbeda sekali dengan semangat bisnis. Pelayanan adalah memberikan yang terbaik buat masyarakat seperti harga murah serta ketersediaan barang yang cukup. Sebaliknya, bisnis adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan masa bodoh dengan yang lain.
Sebetulnya, tanpa harus melakukan privatisasi, banyak cara yang dapat dijalankan Pemerintah untuk menutup defisit APBN-nya. Di antaranya: (1) Menyita harta para koruptor hitam yang ‘mengemplang’ Pemerintah. Sayang, hingga saat ini, kebanyakan koruptor kakap itu tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun ada yang menjalani proses hukum, banyak di antara mereka yang akhirnya divonis bebas. Dalam tiga kasus yang sudah diputuskan MA, mereka rata-rata hanya diganjar 1,5 tahun; seolah-olah proses hukum ini hanya untuk menyenangkan masyarakat. Padahal, kasus tersebut telah merugikan negara sebesar Rp. 18,17 triliun (Republika, 15/06/2005). (2) Mengelola BUMN secara profesional. Fakta di lapangan tidak bisa dipungkiri, bahwa hampir semua BUMN adalah 'sapi perahan' bagi rezim penguasa yang ada untuk kepentingan diri dan koleganya. Gontok-gontokan memperebutkan kursi di BUMN-BUMN oleh kelompok-kelompok penguasa yang ada adalah sekelumit fakta bagaimana BUMN-BUMN yang ada mempunyai nilai yang strategis bagi mereka. Itulah, antara lain, yang mengakibatkan ketidakefisienan BUMN-BUMN yang ada.
Privatisasi: Agenda Asing
Privatisasi yang saat ini gencar dilakukan Pemerintah tidak bisa dilepaskan dari agenda asing untuk ‘menjajah’ Indonesia. Sudah maklum dalam ingatan kita, ‘wabah’ privatisasi mulai merajalela tatkala Indonesia dilanda badai krisis moneter yang mengharu-biru pada masa-masa akhir rezim Orba. Pemerintah saat itu mengambil kebijakan yang salah, yakni mengemis kepada IMF dan mengikuti resep-resepnya. Beberapa resep IMF terbukti bukan ‘menyembuhkan’, tetapi justru sebaliknya: ‘mematikan’. Di antaranya: (1) dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah bagi masyarakat secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar. Kebijakan ini terbukti telah menyebabkan naiknya harga BBM, yang kemudian mengakibatkan naiknya komoditas yang lain; (2) nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar. Inilah yang menyebabkan rupiah saat ini terus terpuruk, hingga menembus angka Rp. 10,000 per dolar; (3) privatisasi BUMN, yang dilakukan dengan menjual saham BUMN kepada pihak swasta nasional maupun asing, sehingga kepemilikannya pun jatuh ke tangan individu (private); (4) peran-serta Pemerintah Indonesai dalam kancah Perdagangan Bebas (WTO) dan Perjanjian GATT yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam ‘kubangan’ liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.
Dari agenda di atas jelas, bahwa privatisasi merupakan agenda asing yang dipaksakan oleh para penguasa yang pro-Barat kepada masyarakat. Tujuannya adalah menjajah negeri ini. Lihatlah, bagaimana Bolivia. Negeri penghasil gas dan kaya akan mineral, seperti timah dan perak, bahkan lebih kaya ketimbang Belanda itu justru hancur. Pada tahun 1980-an, Bolivia mengalami resesi ekonomi, justru setelah melakukan privatisasi perusahaan tambang. 25 ribu pekerja, kala itu, terpaksa harus kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, privatisasi yang konon digenjot untuk menutupi anggaran, justru sebaliknya, membuat anggaran negara terus-menerus mengalami defisit, antara 300-400 juta dolar AS per tahun. Bayangkan, 60% penduduknya miskin, 30% di antaranya hanya berpenghasilan 1 dolar AS. Dengan kenaikan harga, defisit anggaran, praktis pembangunan tidak berjalan. Akibatnya, lapangan pekerjaan sempit, angka pengangguran meningkat. Inilah yang mengakibatkan kemarahan raktar, yang berujung pada jatuhnya presiden Bolivia. Bayangkan, sudah 200 kali presiden Bolivia diturunkan di tengah jalan (Republika, 15/06/2005).
Privatisasi: Haram!
Dalam pandangan Islam, air, hutan, barang tambang, dan sumberdaya alam lain yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum. Kepemilikan umum ini harus dikelola hanya oleh negara, yang hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Prinsip ini di antaranya dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, berdasarkan hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hanbal.
Dalam hadis tersebut, Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.”
Rasulullah saw. kemudian bersabda, "Tariklah kembali tambang tersebut darinya." (HR at-Tirmidzi).
Dalam hadis di atas, air mengalir (mâ’ al-‘iddu), disebut demikian karena jumlahnya yang sangat banyak; seolah-olah seperti air yang mengalir terus-menerus. Dari riwayat tersebut dapat dipahami, bahwa semula Rasullah saw. memberi Abyadh tambang garam karena dikira sedikit jumlahnya. Ini menunjukkan bahwa penguasa boleh memberikan tambang garam atau tambang-tambang lainnya dalam jumlah sedikit kepada individu. Akan tetapi, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar (digambarkan bagaikan air yang terus mengalir), maka Rasul saw. segera menarik kembali pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum; semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan garam, melainkan 'tambang'-nya. Artinya, larangan untuk menguasai tambang dalam jumlah yang banyak tidak hanya berlaku pada tambang garam, tetapi berlaku pada semua tambang yang memang menguasai hajat hidup orang banyak. An-Nabhani, mengutip ungkapan Abu Ubaid, mengatakan:
Pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hanbal atas tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya semata-mata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air yang mengalir—sementara air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor—maka beliau mencabutnya kembali. Sebab, sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Karena itu, beliau melarang seseorang untuk memilikinya, karena dapat menyebabkan yang lain tidak dapat memilikinya.
Penarikan kembali pemberian Rasul saw. kepada Abyadh adalah 'illat/sabab at-tasyrî‘ (sebab legal) bagi larangan/keharaman atas individu/swasta manapun untuk memiliki dan menguasai sesuatu yang menjadi milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Walhasil, privatisasi atas sektor-sektor publik, dengan alasan apapun, adalah bertentangan dengan hukum Islam, dan jelas hukumnya haram.
(sumber:Al-islam edisi 260)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar